SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA
Oleh: Amelia Qoriatin Nasuha
Situs
Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia yang merupakan
lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat penting dalam
sejarah perkembangan manusia dunia. Sangiran memberi informasi lengkap sejarah
kehidupan manusia purba meliputi habitat, pola kehidupannya, binatang yang
hidup bersamanya, hingga proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak
kurang dari 2 juta tahun (Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah). Banyak
ditemukan peninggalan – peninggalan sejarah di tempat ini. Karena merupakan
sebuah kompleks situs manusia purba dari kala pleistosen yang paling lengkap
dan paling penting di Indonesia bahkan di Asia, Situs Sangiran disebut sebagai Laboratorium Manusia Purba.
Area
ini memiliki luas kurang lebih 56 km² (8 x 7 m) dan sebagian besar berada dalam
wilayah administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17
kilometer sebelah utara Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solo dan di kaki
Gunung Lawu. Ada sebagian yang merupakan bagian dari Kabupaten Karanganyar
(Kecamatan Gondangrejo).
Gambar Peta Lokasi Sangiran
Pada
tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
sebagai cagar budaya dan pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs
Warisan Dunia UNESCO. Sangiran terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO
sebagai World Heritage (No. 593, dokumen WHC-96/Conf.201/21).
Situs
Sangiran merupakan obyek wisata ilmiah yang sangat menarik terutama bagi
pecinta sejarah manusia purba. Tempat ini memiliki nilai tinggi bagi ilmu
pengetahuan dan merupakan aset Indonesia. Sejak ditetapkannya sebagai World
Heritage oleh UNESCO, Sangiran memberi sumbangannya terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia khususnya ilmu arkeologi, geologi, paleoanthropologi,
dan biologi.
Dijadikannya
Sangiran sebagai pusat kajian manusia purba dan kajian evolusi manusia terbesar
di Asia bahkan Dunia, karena di situs ini ditemukan fosil peninggalan manusia
purba dari 2,4 juta tahun silam. Tak hanya fosil manusia, tapi juga
berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata),
seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil),
berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah modern).
Ditemukan pula alat produksi manusia purba yang digunakan dan sebagainya. Hal
ini berbeda dengan situs-situs manusi purba di Cina seperti Zhudian, Yuanmo dan
Longhupa yang hanya menyajikan peninggalan purba kurang dari dua juta tahun.
Sejarah Eksplorasi dan Berdirinya
Museum Sangiran
Awalnya
Situs Sangiran adalah sebuah kubah penelitian yang dinamakan Kubah Sangiran kemudian
tererosi bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi akibat pergerakan
dari aliran sungai. Pada depresi itu ditemukan lapisan tanah yang mengandung
informasi tentang kehidupan di masa lampau. Sangiran dilewati oleh sungai yang
sangat indah, yaitu Kali Cemoro yang bermuara di Bengawan Solo. Daerah inilah
yang mengalami erosi tanah sehingga lapisan tanah yang terbentuk tampak jelas
berbeda antara lapisan tanah yang satu dengan lapisan tanah yang lain.
Dalam
lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak ditemukan fosil-fosil
manusia maupun binatang purba. Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran
merupakan kawasan yang tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa
(pengangkatan dan penurunan permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah
permukaan bumi (endogen) maupun di atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai
Cemoro yang melintasi wilayah tersebut juga mengakibatkan terkikisnya kubah
Sangiran menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal
dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktifitas alam di atas
mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode pleistocen
yang susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan
Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas
(lapisan Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di lapisan-lapisan
tersebut berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis,
lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.
Tahun
1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di
area tersebut dan menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon
di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut Kubah Sangiran. Von Koenigswald adalah
seorang ahli paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda
di Bandung pada tahun 1930-an. Setelah mencermati laporan-laporan berbagai
penemuan balung buta (“tulang buta/raksasa”) oleh warga dan diperdagangkan.
Saat
itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus
erectus (“Manusia Jawa”) oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891.
Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 Km timur
Sangiran. Dengan dibantu oleh Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi lurah
Desa Krikilan, setiap hari von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari
balung buta, yang kemudian ia bayar.
Von
Koenigswald adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran untuk
mengenali fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang ditemukan.
Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil Homo
erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih fosil Homo erectus atau hominid
lainnya dengan variasi yang besar, termasuk seri
Meganthropus
palaeojavanicus,
telah ditemukan di situs tersebut dan kawasan sekitarnya.Penggalian oleh tim
Von Koenigswald berakhir 1941. Koleksi-koleksinya sebagian disimpan di bangunan
yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran sampai tahun 1975, yang
kelak menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya
dikirim ke kawannya di Jerman, Franz Weidenreich. Pada waktu itu banyak
wisatawan yang datang berkunjung ke tempat tersebut, maka muncullah ide untuk
membangun sebuah museum. Pada awalnya Museum Sangiran dibangun di atas tanah
seluas 1.000 m2 yang terletak di samping Balai Desa Krikilan. Sebuah
museum yang representatif baru dibangun pada tahun 1980 karena mengingat
semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan sekaligus untuk melayani kebutuhan
para wisatawan akan tempat wisata yang nyaman. Bangunan tersebut seluas 16.675
m2 dengan ruangan museum seluas 750 m2.
Gambar Museum Sangiran
Bangunan tersebut bergaya joglo dan
terdiri dari ruang pameran, aula, laboratorium, perpustakaan, ruang audio
visual (tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia prasejarah), gudang
penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir (khususnya menjual handicraft
“batu indah bertuah” yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro). Berikut ini
adalah beberapa koleksi yang tersimpan di Museum Sangiran:
- Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus (replika), Pithecanthropus mojokertensis (Pithecanthropus robustus) (replika), Homo soloensis (replika), Homo neanderthal Eropa (replika), Homo neanderthal Asia (replika), dan Homo sapiens.
- Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
- Fosil binatang laut dan air tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda dan Gastropoda), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.
- Batuan, antara lain rijang, kalsedon, batu meteor, dan diatom.
- Artefak batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak perimbas-penetak.
Gambar Fosil Sangiran
.
Diperkirakan
situs Sangiran pada masa lampau merupakan kawasan subur tempat sumber makanan
bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah khatulistiwa, pada jaman
fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi manusia
purba untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan sangiran
pada kala pleistosen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi manusia
pada masa itu. Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar,
hutan kecil dekat sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian
manusia pada kala pleistosen. Mereka membuat pangkalan dalam aktifitas
perburuan untuk mendapatkan sumber kebutuhan hidupnya.
Pilihan
situs kubah Sangiran sebagai pangkalan aktifitas perburuan mengingatkan kita
dengan living floor (lantai hidup) atau old camp site di lembah
Olduvai, Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs sebagai tempat hunian dan ruang
subsistensi adalah temuan fosil manusia purba, fauna, dan artefak perkakas yang
ditemukan saling berasosiasi.
Kawasan
Sangiran menyimpan misteri yang sangat menarik untuk diungkap. Manusia purba
jenis Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran ada sekitar lebih
dari 100 individu yang mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun.
Jumlah ini mewakili 65% dari seluruh fosil manusia purba yang ditemukan di
Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah fosil sejenis yang ditemukan didunia.
Jenis Homo erectus yang ditemukan adalah dari masa Pleistosen Awal dan
Pleistosen Tengah, dan mungkin juga pada Pleistosen Akhir. Manusia jenis ini
mempunyai ciri-ciri tinggi badan kurang lebih 165-180 cm dengan postur yang
tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus. Mereka memiliki geraham yang
masih besar, rahang kuat, tonjolan kening tebal serta melintang pada dahi dari
pelipis ke pelipis dan tonjolan belakang kepalanya nyata, dagu belum ada dan
hidung lebar. Perkembangan otaknya baru memiliki volume sekitar 800-1100 cc dan
manusia ini digolongkan dalam Homo erectus arkaik.
Keseluruhan
fosil yang telah ditemukan sampai saat ini sebanyak 13.809 buah. Sebanyak 2.934
fosil disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran dan 10.875 fosil lainnya
disimpan di gudang penyimpanan. Beberapa fosil manusia purba disimpan di Museum
Geologi Bandung dan Laboratorium Paleoanthropologi Yogyakarta. Berdasarkan
bentuk fisik dan lingkungan endapan asalnya, secara umum temuan fosil-fosil
manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3 kelompok utama (Widianto,
1996); yaitu kelompok Pithecanthropus arkaik yang berasal dari Formasi
Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai usia antara 1,7 – 0,7 tahun.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus palaeojavanicus dan Pithecanthropus
mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus klasik yang
berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar
800.000 – 400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo erectus) yang paling
banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus
progresif yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan mempunyai
umur antara 400.000 – 100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan Homo
soloensis dari Ngandong dan Trinil (Widianto 1996, Semah et.al. 1990).
Gambar Manusia Purba Sangiran
Demikianlah
karya ilmiah mengenai “Sangiran Laboratorium Manusia Purba” ini. Sebagai
warga negara yang baik kita harus bisa melestarikan kekayaan budaya baik itu
wisata maupun sejarah bangsa. Agar tidak punah oleh waktu. Selain itu kita juga
harus bisa menjaganya agar tetap lestari dan berkembang.
Referensi
- Santosa, Hery (2000). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Universitas SanataDharma.
- Sulistyanto, Bambang (2011). Mitos Balung Buto: Tafsir Makna dan Relevansinya terhadap Benda Cagar Budaya Sangiran. Diakses 24 Juni 2014, Tersedia:http://hurahura.wordpress.com/2011/07/05/mitos-balung-buto-tafsir-makna-dan-relevansinya-terhadap-benda-cagar-budaya-sangiran/
- Gunawan, Restu dkk (2013). Sejarah Indonesia kelas X. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- http://www.indonesia.travel. Sangiran: Situs dan Museum Manusia Purba di Lembah Bengawan Solo. Diakses 24 Juni 2014
- http://www.museumindonesia.com. Museum Purbakala Sangiran. Diakses 24 Juni 2014. Tersedia: http://www.museumindonesia.com/museum/19/1/Museum_Purbakala_Sangiran_Sragen
- http://www.wikipedia.org. Sangiran. Diakses 24 Juni 2014. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Sangiran
- Http://yogapermanawijaya.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar